ANALISIS BUKU AGRARIA

Oleh: Celvin Gylang Prayudha (180110301024)

Buku pertama
Judul Buku : DUA ABAD PENGUASAAN TANAH, Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa
Penulis : S.M.P Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Tahun Terbit : 2008
Cetakan : Edisi Revisi
Jumlah Halaman: 540 halaman
ISBN : 978-979-461-685-7
Harga : Rp. 120.000
Resensi Oleh : Nur Anawatiningrum
Sumber : https://sejarahnyana.blogspot.com/2020/03/resensi-buku-dua-abad-penguasaan-tanah.html?m=1

Buku yang ditulis oleh S.M.P Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi ini merupakan karya dimana di dalamnya membahas tentang pertanahan di daerah Jawa, khususnya tanah pertanian. Buku ini sangat cocok bagi mahasiswa/i sejarah, dimana matakuliah agraria (pertanahan) ini merupakan matakuliah wajib. Pada awal pembahasan dalam buku ini membahas tentang penguasaan tanah dimana seperti yang dijelaskan bahwa pada saat itu sistem penguasaan tanah bersifat feodalisme/raja yang menguasai dan menjadi pemilik tanah. Tanah memiliki makna penting jika dilihat dari beberapa sudut pandang, dari sudut pandang ekonomi tanah merupakan faktor penting dalam produksi, sedangkan dalam sudut pandang politik tanah dapat dijadikan aspek kekuasaan oleh orang-orang tertentu.
Dalam buku ini dijelaskan beberapa pola penguasaan tanah yang terjadi di pedesaan, dimana dengan adanya pola-pola tersebut dapat merubah pranata sosial dalam masyarakat. Salah satu ciri penting struktur pertanahan di Jawa adalah terdapat beberapa macam bentuk pemilikan tanah. Masyarakat pedesaan cenderung terbagi menjadi kelas-kelas yang didasarkan pada jangkauan terhadap hak-hak tanahnya. Pembahasan dalam buku ini beberapa menjelaskan bahwa pemilikan tanah pertanian hanya terpusat kepada beberapa orang saja, sehingga terdapat beberapa perubahan atau tingkatan sosial dalam masyarakat sendiri yaitu terdapat beberapa golongan dalam masyarakat. Terdapat juga beberapa bahasan mengenai UUPA dan juga ada beberapa tabel yang menjelaskan tentang pertanahan di Jawa.
Buku ini cocok bagi mahasiswa prodi Ilmu Sejarah sebagai bahan bacaan untuk matakuliah “Sejarah Agraria” karena di dalamnya banyak pembahas tentang sistem pertanahan di Jawa pada saat masa kolonial dan sesudahnya.

Kelebihan : Dalam buku ini terdapat peta dan beberapa tabel di dalamnya sehingga memudahkan pembaca untuk melihat letak serta jumlah kepemilikan tanah di daerah Jawa. Buku ini juga memuat banyak referensi dan terdapat beberapa sub-bab yang runtut sehingga sangat cocok untuk bahan bacaan bagi mahasiswa.

Kekurangan : Dalam buku ini memuat banyak kata daerah yang artinya susah dipahami dan dibedakan seperti sikep, numpang, gogol, indung dan lainnya yang diulang-ulang dibeberapa halaman, sehingga membuat pembaca sedikit kebingungan.

Buku kedua
Judul Buku : Apanage Dan Bekel Perubahan Sosial Di Pedesaan Surakarta 1830-1920
Pengarang  : Dr. Suhartono
Tahun Terbit : 1991
Penerbit : PT. Tiara Wacana Yogya
Jumlah Halaman: XXI + 220 Halaman
Sumber : https://brahmana13.blogspot.com/2020/03/review-buku-apanage-dan-bekel-judul.html?m=1

Dalam buku ini yang berjudul Apanage Dan Bekel Perubahan Sosial Di Pedesaan Surakarta 1830-1920 berisi mengenai perubahan pengusaaan tanah dan perubahan peranan bekel pada abad ke XIX atau setelah masuknya kolonial ke Indonesia dan diberlakukannya Undang-Undang Agraria. Tujuan dari reorganisasi agraria adalah pembebasan tanah dan tenaga kerja petani dari ikatan tradisional. Sebenarnya sistem apanage muncul dari suatu konsep bahwa penguasa adalah pemilik tanah seluruh kerajaan dan petani yang mengerjakan tanah narawita dan tanah apanage mendapatkan sebagian hasil dari tanah itu yang kemudian diberi kewajiban untuk membayar upeti dan pajeg yang berupa hasil tanah dan tenaga kerjanya. Di dalam menjalankan pemerintahannya penguasa dibantu oleh seperangkat pejabat dan keluarganya, dan sebagai imbalannya mereka diberi tanah apanage. Timbulnya isilah bekel tidak dapat dipisahkan dari sistem apanagenya, karena patuh yang tinggal di kuthagara tidak mengerjakan tanah apanagenya sendiri tapi mengangkat seorang bekel. Tanah yang diberikan kepada patuh sifatnya hanya sementara dengan hak nggaduh. Tujuan pengangkatan bekel adalah untuk mewakili patuh dan sebagai penebas pajak, selain itu bekel juga mendapatkan sebagian dari hasil tanah atau sebagian dari pajak. Namun setelah ada pengaruh Kolonial (1848) peranan bekel diganti menjadi penjaga keamanan desa. Sejak itulah muncul istilah kepala desa yang diangkat dari para bekel. Tujuan diangkatnya kepala desa adalah untuk mengontrol perkembangan di desa-desa sehingga mudah untuk mengawasi tanah-tanah di daerah Vorstenlanden dan agar mereka tetap mempertahankan kedudukan mereka sebagai penguasa desa untuk mengerahkan para petani dan melakanakan segala peraturan, pungutan atau pengerah tenaga kerja. Tertib tidaknya penarikan pajak dari petani sangat bergantung pada bekel sebagai penanggung jawab. Karena dalam pelakanaannya sering terjadi kebocoran dalam pembayarannya sehingga pajak tidak sampai kepada patuh. Diperkirakan sikep yang tidak dapat memenuhi pasokan atau pasokan itu sebelum sampai pada patuh sudah diambil sebagian oleh bekel. Meskipun terjadi perubahan peranan bekel, pada dasarnya perubahan itu tidak mendasar karena peranan bekel bersifat polimorfik. Di Vorstenlanden, peranan bekel bersifat tradisional, yaitu sebagai perantara antara patuh dengan petani, sedangkan di daerah gobernemen bersifat dualistik, yaitu sebagai perantara antara patuh dengan petani dan antara pemerintah kolonial atau perusahaan perkebunan dengan petani.
Dalam perkembangan politik, struktur poltik masyarakat dibagi dalam berbagai tingkatan berdasarkan golongan sosial dan di dalam masyarakat ada golongan elite yag mempunyai otoritas dan di antara mereka terjadi adaptasi, kompetisi dan konflik. Dalam politik, priyayi selalu terikat dengan petani karena mereka mempunyai hubungan patron-klien. Di pedesaan terdapat beberapa kelompok politik yang mengimbangi kekuasaan kolonial. Dengan diperketatnya birokrasi, pemerintah kolonial semakin ketat mengawasi pemerintahanan kerajaan dan kepala rendahan di pedesaan. Namun ada pula yang melakukan kritik kepada penguasa resmi.
Pada periode transisi banyak terjadi masalah, seperti konflik kepentingan raja dan patuh dengan petani, perusahaan perkebunan dengan petani dan majikan dengan buruh. Pada peroide transisi ini banyak banyak terjadi protes yang dilakukan petani, sedangkan pada periode modern banyak protes sosial yang dilakukan organsasi modern sebagai reaksi terhadap dampak perubahan sosial.
Sebagai dampak diberlakukannya reorganisai agraria yang menyebabkan dihapusnya tanah apanage menjadi tanah individu milik petani dan menghapus kabekelan diganti dengan kelurahan yang dikepalai oleh lurah desa atau kepala desa. Dengan diberlakukannya reorgansasi agraria, terjadi liberasi tanah yang mengakibatkan kedudukan tanah dapat dipindah-pindahkan sehingga penyewa dapat menyewa tanah seluas-luanya. Bersamaan dengan individualisasi tanah lahirlah istilah pajak tanah menggantikan kerja wajib.
Penghapusan apanage merupakan salah satu cara yang digunakan kolonial dalam menjalankan indutrialisasi dan komersialisasi. Karena dengan tanah dan tenaga kerja yang ada dalam ikatan tradisional sudah tidak cocok lagi dan mengalam hambatan. Hambatan yang lain adalah tuntutan bekti dari para patuh yang terlalu tinggi sehingga perusahaan perkebunan merasa keberatan. Hambatan lainnya adalah banyaknya kerusuhan di desa- desa yang mengakibatkan banyak perusahaan perkebunan yang menutup usahanya/ pemutusan hubungan sewa menyewa tanah, proses pemiskinan para patuh semakin cepat. Kondisi tersebut yang menjadi alasan diberlakukannya reorgansasi untuk memperkuat kedudukan perusahaan perkebunan sebagai penguasa baru. Untuk itu, jabatan patuh dihilangkan tapi untuk pengawasan masih dipegang oleh kepala desa yang diangkat sebagai fungsionaris polisi sehingga tercipta suasana aman di desa dan memudahkan penarikan pajak. Timbulnya penyalahgunaan bekel merupakan penyebab dari masihnya pengerahan tenaga kerja dalam ikatan feodal. Kondisi terebut yang mengakibatkan pemerintah mengubahnya menjadi kerja upah. Upah yang awalnya bertujuan untuk petani malah disalahgunakan untuk mengedarkan barang impor dari Cina Klonthong yang mengakibatkan petani yang miskin. Dengan adanya upah, desa mendapat pengaruh luar dan terbuka bagi lalu lintas ekonomi uang sehingga petani bebas memilih patronnya. Dampak positif adanya hubungan dengan luar adalah adanya jalur kereta api.
Perubahan kedudukan tanah apanage belum sepenuhnya memberikan harapan kolonial untuk mengektrasi tanah dan tenaga petani dengan maksimal. Kondisi yang mendorong pemerintah kolonial mengubah masyarakat menjadi agro-industri yang berdampak pada status dan peranan bekel. Reorganisasi agraria ditujukan agar perusahaan perkebunan dapat menguasai tanah dengan harga yang murah.

Buku ketiga

Judul : Penguasaan tanah dan tenaga kerja : Jawa di masa kolonial
Judul Asli : Control of land and labour in colonial Java ({S.1.} : Floris, 1983).
Penulis : Jan Breman
Pengantar : Sajogyo
Penerbit : LP3ES Jakarta, anggota IKAPI . Bekerja sama dengan Koninklijik Instituut voor taal-, Land-en Volkenkunde
Tahun Terbit : 1983
Pencetak : PT. Kwarta Gapura
Cetakan : Cetakan Pertama , Mei 1986
Jumlah Halaman : 230 Halaman
ISBN : 979-8015-03-7
Resensi Oleh : Amalia Desi Derviora
Sumber : http://amaliadesira.blogspot.com/2020/03/resensi-buku-jan-breman-penguasaan.html?m=1
         
Buku ini di dalamnya terdapat ilmu yang sangat bermanfaat untuk para pembaca. Buku dari sang penulis handal yaitu Jan Breman ini sangat membantu untuk mahasiswa yang ingin mengetahui bagaimana kondisi kota Cirebon Timur saat masa perombakan tanah beserta peraturan-peraturan dan kebijakan yang berlaku saat itu. Dan isi dari buku ini menjelaskan tentang penguasaan tanah dan para pekerjanya dibawah naungan kolonial di Cirebon khususnya , dalam buku ini dituliskan bahwa adanya perombakan di antar desa agar pertanian berjalan sesuai apa yang diinginkan oleh pihak kolonial, disini juga dijelaskan bahwa adanya pola pola penguasaan tanah yang berlaku. Perlu di ketahui juga pada 16 januari 1920 terjadi rapat anggota sindikat gula cabang Cirebon yang didalamnya membahas tentang perombakan agraria yang sedang berlangsung terus menerus.
Dalam sidang sindikat cabang Cirebon ini diwarnai dengan keributan hebat, dan perdebatan tidak berakhir dengan consensus sebagaimana diinginkan. Seiring berjalannya waktu para sikep ini meninggalkan tanah garapan mereka pada sisa tahunannya yang sejatinya itu masih menjadi hak para sikep, mereka lebih senang bekerja sebagai buruh musiman di daerah pedesaan, atau mencari pekerjaan di kota dan pelabuhan Cirebon. Akhir dari buku ini ialah perombakan tanah (landfrom) itu diprakarsai oleh residen, atas dasar suatu hasil studi lokal.
Kelebihan : Dalam buku ini cukup jelas antara tahun dan tempat kejadiannya dan tentunya itu sangat memudahkan mahasiswa untuk mengetahui sumber. Tentunya dalam buku ini sangat banyak kepanjangan dan kependekan kata / kalimat dan baiknya itu sudah dilengkapi apa kepanjangan atau kependekannya. Dan disertai glosarium yang mempermudah mengetahui kosa kata yang tidak diketahui.
Kekurangan : Penggunaan kata dan kalimatnya menggunakan bahasa yang sedikit tinggi dan mendalam seperti sawah komunal, titisara, playangan giliran, sawah yasa, sawah kasikepan.

Kesimpulan resensi
Buku 1.
Buku ini membahas tentang penguasaan tanah di Jawa dari masa ke masa. Pembahasan dalam buku ini berawal pada era feodalisme masih bercokol, kemudian era kolonial hingga sesudah era kolonial. Tanah memiliki makna penting dilihat dari berbagai sudut pandang, seperti pada sudut pandang ekonomi dan sudut pandang politik. Dijelaskan pula tentang pola penguasaan tanah di pedesaan Jawa dan kelas-kelas pada masyarakat  yang didasarkan jangkauan terhadap hak-haknya. Tak lupa juga pembahasan tentang UUPA dan beberapa tabel tentang pertanahan di Jawa.
Buku 2.
Buku ini menjelaskan tentang perubahan penguasaan tanah dan perubahan peranan Bekel pada abad ke XIX atau setelah masuknya kolonial ke Indonesia dan diberlakukannya Undang-Undang Agraria yang bertujuan membebaskan tanah dan tenaga kerja petani dari ikatan tradisional. Sistem apanage muncul dari suatu konsep bahwa penguasa adalah pemilik tanah. petani yang mengerjakan tanah narawita dan tanah apanage mendapatkan sebagian hasil dari tanah itu yang kemudian diberi kewajiban untuk membayar upeti dan pajeg yang berupa hasil tanah dan tenaga kerjanya. Setelah ada pengaruh Kolonial (1848) peranan bekel diganti menjadi penjaga keamanan desa.
Buku 3.
Buku ini memebahas tentang kondisi kota Cirebon Timur saat masa perombakan tanah beserta peraturan-peraturan dan kebijakan yang berlaku saat itu dan juga tentang penguasaan tanah dan para pekerjanya dibawah naungan kolonial di Cirebon khususnya. pada 16 januari 1920 terjadi rapat anggota sindikat gula cabang Cirebon yang didalamnya membahas tentang perombakan agraria yang diwarnai dengan keributan hebat. Akhirnya dijalankanlah perombakan tanah yang diprakarsai oleh Residen yang didasari oleh studi lokal.

Hasil analisis
Pada ketiga buku ini, terdapat beberapa persamaan yaitu sama sama membahas tentang penguasaan tanah, hanya saja pada buku 1 terfokus pada pola penguasaan tanah, sedangkan buku 2 terfokus pada perubahan penguasaan tanah. Selain itu pada skup temporal, ketiga buku ini memiliki kesamaan yaitu membahas pada era kolonial walaupun pada buku 1 berbeda dengan buku 2 & 3 dimana pada buku 1 berawal dengan era feodalisme dan berakhir dengan era setelah kolonial. Pada skup temporal, buku 1 pembahasannya di pulau Jawa, buku 2 lebih terfokus pada daerah Surakarta khususnya pedesaan, sedangkan buku 3 lebih terfokus pada daerah Cirebon.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peran Zaibatsu dalam Pengembangan Jepang pada Periode Kaisar Meiji Tahun 1868-1912